Untuk mempelajari proses
pembelajaran sains (IPA) di sekolah, selain memakai teori psikologi yang
berakar pada kontruktivisme individu (personal constructivism) dan
perspektif sosiologi yang bertumpu pada konstruktivisme sosial (social
constructivism), para peneliti dan ahli pendidikan saat ini mencoba untuk
menggunakan kajian teori anthropogi (anthropological perpective).
Yang terakhir ini mencoba melihat
proses pembelajaran sains (IPA) di sekolah pada setting
budaya masyarakat sekitar. Menurut perspektif anthropologi,
pengajaran sains dianggap sebagai transmisi budaya (cultural transmission)
dan pembelajaran sains sebagai penguasaan budaya (cultural acquisition).
Sehingga proses kegiatan belajar mengajar di kelas dapat diibaratkan sebagai
proses pemindahan dan perolehan budaya dari guru dan oleh murid. Untuk pembatasan, kata budaya (culture)
yang dimaksud di sini adalah suatu sistem atau tatanan tentang simbol dan arti
yang berlaku pada interaksi sosial suatu masyarakat. Berdasar batasan ini, maka sains dapat dianggap
sebagai subbudaya kebudayaan barat, dan sains dari barat (Western science)
merupakan subbudaya dari sains.
Para ahli
yang berkecimpung dalam penelitian tentang keterlibatan nilai-nilai kebudayaan
yang dimiliki oleh siswa dalam proses pembelajaran IPA menggunakan sebuah
metafora atau pengkiasan yang diberi nama ‘metafora sang pelintas batas’
(Border Crossing Metaphor) untuk menjelaskan proses pembelajaran IPA
dari perspektif anthropologi. Menurut metafora ini, siswa dianggap
sebagai sang pelintas batas antara dua budaya, yaitu nilai-nilai budaya
keseharian mereka dengan nilai-nilai budaya sains di sekolah yang pada dasarnya
didominasi oleh budaya sains dari Barat. Kata ‘batas’ disini adalah
‘batas imajiner’ yaitu batas yang ada dalam pemikiran, bukan batasan secara
material. Dengan menggunakan metafora ini, maka siswa dapat dikelompokkan ke dalam
lima katagori berdasarkan cara mereka masuk ke dalam budaya sains di sekolah
dari budaya keseharian mereka.
Kelompok
pertama disebut dengan ‘Potential Scientist’. Siswa dalam kelompok
ini dapat melintasi batas kedua budaya dengan mudah dan alami, seolah-olah
‘batas’ tersebut tidak ada bagi mereka.
Kelompok
kedua disebut ‘Other Smart Kids’, yaitu kelompok siswa yang dapat
melewati ‘batas’ dengan baik, namun mereka masih menganggap dan mengakui sains
sebagai sebuah budaya asing. Siswa dalam kelompok ini kebanyakan suka
menggunakan cara cerdas, seperti ‘Fatima’s rule’ untuk sukses dalam
pembelajaran. Mereka dapat membangun konstruk pengetahuan sains di dalam
skemata mental mereka dan menyimpannya pada memori jangka panjang yang hanya
dapat diakses lagi ketika diperlukan pada saat ujian.
Ketiga
adalah kelompok ‘I Don’t Know Students’, yang menghadapi masalah serius
dalam melintasi ‘batas’ kedua budaya, tetapi mau belajar untuk mengatasinya,
dan berhasil dengan menggunakan cara ‘Fatima’s rule’ secara terus
menerus. Kelompok ini mungkin berhasil di dalam ujian mata pelajaran IPA,
tetapi tidak memahami secara komprehensif konsep-konsep yang
dipelajarinya. Mereka cenderung menghafal konsep, bukan
memahaminya.
Kelompok
keempat,‘Outsider’, adalah kelompok siswa yang cenderung terasing selama
proses pembelajaran berlangsung. Kelompok ini menghadapi masalah besar
dalam usaha melintasi ‘batas’ budaya. Bagi mereka adalah jelas tidak
mungkin untuk melewatinya. Hal ini disebabkan kuatnya pengaruh nilai
kebudayaan keseharian mereka, dibandingkan nilai yang terkandung di dalam
materi pelajaran sains dan proses pembelajarannya.
Kelompok
terakhir adalah kelompok ‘Inside Outsider’. Kelompok ini
menganggap melintasi batas dari budaya mereka ke budaya sains di sekolah adalah
hampir tidak mungkin karena adanya diskriminasi yang muncul di sekolah.
Kelompok ini sebenarnya memiliki rasa keingintahuan yang besar, namun menjadi
asing di kelas atau di sekolah
karena kelas atau sekolah tidak menyediakan proses pembelajaran yang peduli
pada nilai-nilai budaya siswa (student’s prior belief). Akibatnya,
mereka merasa terpinggirkan dan tidak memperoleh pembelajaran yang bermakna.
Dari gambaran di atas, terlihat jelas
bahwa latar belakang budaya siswa mempunyai efek yang lebih
besar di dalam proses pendidikan dari pada efek yang disumbangkan oleh
pemberian materi pelajaran. Dengan kata lain, efek dari proses kegiatan belajar mengajar yang
dilakukan di kelas oleh guru dan siswa ‘kalah’ oleh efek budaya masyarakat yang
telah diserap oleh siswa dan dibawa ke dalam proses kegiatan belajar mengajar di
kelas.
Pengaruh latar belakang budaya yang dimiliki siswa terhadap proses
pembelajaran IPA ada dua macam. Pertama, pengaruh positif akan muncul
jika materi pada pembelajaran IPA di sekolah yang sedang dipelajari selaras
dengan pengetahuan (budaya) siswa sehari-hari. Pada keadaan ini proses pembelajaran mendukung
cara pandang siswa terhadap alam sekitarnya. Proses pembelajaran yang
seperti ini disebut dengan proses inkulturasi (enculturation).
Sebaliknya, yang kedua, proses pembelajaran
IPA di kelas menjadi ‘pengganggu’ ketika materi pelajaran IPA tidak selaras
dengan latar belakang budaya yang sudah mengakar pada diri siswa, serta guru
berusaha untuk ‘memaksakan’ kebenaran materi pelajaran IPA (budaya Barat)
dengan cara memarjinalisasikan pengetahuan (budaya) siswa sebelumnya.
Proses pembelajaran seperti ini menurut Cobern dan Aikenhead disebut asimilasi.
Jika proses pembelajaran inkulturasi
meningkatkan cara pemahaman siswa, sebaliknya proses asimilasi berpotensi
menjadikan siswa untuk mengalami apa yang disebut dengan keterasingan (alienation) terhadap
kebudayaannya sendiri, yang pada gilirannya dapat menimbulkan ‘gangguan sosial’
dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar