Selasa, Juni 26, 2012

Aspek Budaya dalam Pembelajaran Sains

Untuk mempelajari proses pembelajaran sains (IPA) di sekolah, selain memakai teori psikologi yang berakar pada kontruktivisme individu (personal constructivism) dan perspektif sosiologi yang bertumpu pada konstruktivisme sosial (social constructivism), para peneliti dan ahli pendidikan saat ini mencoba untuk menggunakan kajian teori anthropogi (anthropological perpective). 
Yang terakhir ini mencoba melihat proses pembelajaran sains (IPA) di sekolah pada setting budaya masyarakat sekitar. Menurut perspektif anthropologi, pengajaran sains dianggap sebagai transmisi budaya (cultural transmission) dan pembelajaran sains sebagai penguasaan budaya (cultural acquisition).  Sehingga proses kegiatan belajar mengajar di kelas dapat diibaratkan sebagai proses pemindahan dan perolehan budaya dari guru dan oleh murid.  Untuk pembatasan, kata budaya (culture) yang dimaksud di sini adalah suatu sistem atau tatanan tentang simbol dan arti yang berlaku pada interaksi sosial suatu masyarakat. Berdasar batasan ini, maka sains dapat dianggap sebagai subbudaya kebudayaan barat, dan sains dari barat (Western science) merupakan subbudaya dari sains. 
Para ahli yang berkecimpung dalam penelitian tentang keterlibatan nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki oleh siswa dalam proses pembelajaran IPA menggunakan sebuah metafora atau pengkiasan yang diberi nama ‘metafora sang pelintas batas’ (Border Crossing Metaphor) untuk menjelaskan proses pembelajaran IPA dari perspektif anthropologi.  Menurut metafora ini, siswa dianggap sebagai sang pelintas batas antara dua budaya, yaitu nilai-nilai budaya keseharian mereka dengan nilai-nilai budaya sains di sekolah yang pada dasarnya didominasi oleh budaya sains dari Barat.  Kata ‘batas’ disini adalah ‘batas imajiner’ yaitu batas yang ada dalam pemikiran, bukan batasan secara material.  Dengan menggunakan metafora ini, maka siswa dapat dikelompokkan ke dalam lima katagori berdasarkan cara mereka masuk ke dalam budaya sains di sekolah dari budaya keseharian mereka.
Kelompok pertama disebut dengan ‘Potential Scientist’.  Siswa dalam kelompok ini dapat melintasi batas kedua budaya dengan mudah dan alami, seolah-olah ‘batas’ tersebut tidak ada bagi mereka. 
Kelompok kedua disebut ‘Other Smart Kids’, yaitu kelompok siswa yang dapat melewati ‘batas’ dengan baik, namun mereka masih menganggap dan mengakui sains sebagai sebuah budaya asing.  Siswa dalam kelompok ini kebanyakan suka menggunakan cara cerdas, seperti ‘Fatima’s rule’ untuk sukses dalam pembelajaran.  Mereka dapat membangun konstruk pengetahuan sains di dalam skemata mental mereka dan menyimpannya pada memori jangka panjang yang hanya dapat diakses lagi ketika diperlukan pada saat ujian. 
Ketiga adalah kelompok ‘I Don’t Know Students’, yang menghadapi masalah serius dalam melintasi ‘batas’ kedua budaya, tetapi mau belajar untuk mengatasinya, dan berhasil dengan menggunakan cara ‘Fatima’s rule’ secara terus menerus.  Kelompok ini mungkin berhasil di dalam ujian mata pelajaran IPA, tetapi tidak memahami secara komprehensif konsep-konsep yang dipelajarinya.  Mereka cenderung menghafal konsep, bukan memahaminya. 
Kelompok  keempat,‘Outsider’, adalah kelompok siswa yang cenderung terasing selama proses pembelajaran berlangsung.  Kelompok ini menghadapi masalah besar dalam usaha melintasi ‘batas’ budaya.  Bagi mereka adalah jelas tidak mungkin untuk melewatinya.  Hal ini disebabkan kuatnya pengaruh nilai kebudayaan keseharian mereka, dibandingkan nilai yang terkandung di dalam materi pelajaran sains dan proses pembelajarannya. 
Kelompok terakhir adalah kelompok ‘Inside Outsider’.  Kelompok ini menganggap melintasi batas dari budaya mereka ke budaya sains di sekolah adalah hampir tidak mungkin karena adanya diskriminasi yang muncul di sekolah.  Kelompok ini sebenarnya memiliki rasa keingintahuan yang besar, namun menjadi asing di kelas atau di sekolah karena kelas atau sekolah tidak menyediakan proses pembelajaran yang peduli pada nilai-nilai budaya siswa (student’s prior belief).  Akibatnya, mereka merasa terpinggirkan dan tidak memperoleh pembelajaran yang bermakna.
Dari gambaran di atas, terlihat jelas bahwa latar belakang budaya siswa mempunyai efek yang lebih besar di dalam proses pendidikan dari pada efek yang disumbangkan oleh pemberian  materi pelajaran.  Dengan kata lain, efek dari proses kegiatan belajar mengajar yang dilakukan di kelas oleh guru dan siswa ‘kalah’ oleh efek budaya masyarakat yang telah diserap oleh siswa dan dibawa ke dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas. 
Pengaruh latar belakang budaya yang dimiliki siswa terhadap proses pembelajaran IPA ada dua macam.  Pertama, pengaruh positif akan muncul jika materi pada pembelajaran IPA di sekolah yang sedang dipelajari selaras dengan pengetahuan (budaya) siswa sehari-hari.  Pada keadaan ini proses pembelajaran mendukung cara pandang siswa terhadap alam sekitarnya.  Proses pembelajaran yang seperti ini disebut dengan proses inkulturasi (enculturation).   
Sebaliknya, yang kedua, proses pembelajaran IPA di kelas menjadi ‘pengganggu’ ketika materi pelajaran IPA tidak selaras dengan latar belakang budaya yang sudah mengakar pada diri siswa, serta guru berusaha untuk ‘memaksakan’ kebenaran materi pelajaran IPA (budaya Barat) dengan cara memarjinalisasikan pengetahuan (budaya) siswa sebelumnya.  Proses pembelajaran seperti ini menurut Cobern dan Aikenhead disebut asimilasi. Jika proses pembelajaran inkulturasi meningkatkan cara pemahaman siswa, sebaliknya proses asimilasi berpotensi menjadikan siswa untuk mengalami apa yang disebut dengan keterasingan (alienation) terhadap kebudayaannya sendiri, yang pada gilirannya dapat menimbulkan ‘gangguan sosial’ dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak ada komentar: